MAS KUMITIR & KI WONG ALUS
PRESIDEN TELAH KEHILANGAN
PERSPEKTIF BHINEKA TUNGGAL IKA DAN MEMAKSAKAN SISTEM DEMOKRASI BARAT
YANG BERTENTANGAN DENGAN NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA. DEMOKRASI
PANCASILA TIDAK PERNAH MENGENAL SISTEM OLIGARKI. DEMOKRASI PANCASILA
DIBANGUN BERDASARKAN ATAS PENGHARGAAN YANG SETINGGI-TINGGINYA PADA ADAT
ISTIADAT DAN BUDAYA MASYARAKAT. UNTUK MEMBANGUN BANGSA INI, ADA HAL-HAL
YANG HARUS DIPERHATIKAN, SALAH SATUNYA ADALAH KEKHUSUSAN DAN KERAGAMAN
DAERAH YAITU PRINSIP BHINEKA TUNGAL IKA YANG TERMAKTUB DALAM PASAL 18 A
UUD 1945. DENGAN DASAR KEBHINEKAAN, KEKHUSUSAN DAN KERAGAMAN INILAH
MUNCULNYA DAERAH ISTIMEWA ACEH, YOGYAKARTA DAN OTONONOMI KHUSUS PAPUA.
Hari
Jumat, 26 November 2010 kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden. Agendanya, mendengarkan
pemaparan dari Mendagri Gamawan Fauzi tentang perkembangan empat RUU
yang akan segera dirampungkan oleh pemerintah, di antaranya RUU
Keistimewaan DIY yang telah lama terbengkalai. Ternyata rapat itu menuai
kontroversi saat SBY mengungkapkan pandangannya mengenai RUU
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam sambutannya
Presiden menyebut tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan di
negara demokrasi seperti Indonesia. “Tidak mungkin ada sistem monarki
yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi,” kata
Presiden SBY. SBY lalu menjelaskan Indonesia adalah negara hukum dan
demokrasi, sehingga nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh
karenanya terkait penggodokan RUU Keistimewaan DIY, pemerintah akan
memprosesnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan
satu UU yang tepat.
Pendapat Presiden ini tak pelak menimbulkan
kontroversi. Partai oposisi PDIP, melalui kadernya Ganjar Pranowo
menyebut ungkapan Presiden ini adalah indikasi keinginan SBY untuk
melaksanaan pilkada di DIY secara langsung, tidak seperti saat ini yang
dilakukan penunjukan langsung kepada Sultan Yogyakarta. “Kalau itu
sikapnya (SBY) begitu, pasti dia menghendaki gubernur dipilih langsung.
Maka keistimewaan Yogya selama ini akan diakhiri oleh SBY,” kata Ganjar
Pranowo.
Ganjar menjelaskan, penetapan Gubernur DIY seperti yang
berlangsung sampai saat ini adalah bagian dari kekhususan dan keragaman
daerah, sebagaimana tertulis dalam pasal 18A ayat 1 UUD 1945. Kekhususan
dan keragaman ini juga yang melandasi diberlakukannya hukum syariah di
Aceh, otonomi khusus Papua, dan ditunjuknya Walikota di Provinsi DKI
Jakarta.
Mendapat sorotan, pernyataan SBY tersebut coba untuk
dijelaskan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan
Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai. Menurut pria asli Papua ini,
Presiden SBY menghargai keistimewaan DIY. Velix meminta bentuk
keistimewaan DIY tidak dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala
daerah saja.
“Karena itu, pernyataan Presiden SBY yang lalu perlu
dimaknai sebagai upaya pengakuan dan penghormatan warisan tradisi,
kekhususan, dan kebudayaan keraton dalam konteks demokrasi yang sedang
kita konsolidasikan dewasa ini,” jelasnya.
Sementara keluarga
Sultan Hamengkubuwono X bersuara pedas menanggapi pendapat Presiden SBY.
Adik Sultan, GBPH Joyokusumo mempertanyakan pernyataan SBY. Penyataan
SBY dinilai bisa menhancurkan kesatuan NKRI karena menafikan aspek
historis. “Dengan pernyataan yang tidak punya dasar sejarah, konstitusi,
dan demokrasi itu, sadar atau tidak sadar, SBY mau menghancurkan NKRI,”
kata Joyokusumo.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang mengibaratkan kondisi keistimewaan Yogyakarta sebagai bentuk
monarki adalah sebuah pernyataan yang ahistoris. Selama ini Sultan
sebagai kepala daerah bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah
menjalankan tugas, peran, dan fungsi sebagaimana kepala daerah lainnya.
Bahkan kewajibannya. Perangkat DIY sebagai provinsi pun tidak berbeda,
ada sekretaris daerah, kepala dinas, pengawasan DPRD, adanya peraturan
daerah sebagai produk legislatif, dan penyusunan APBD. Jadi, DIY sama
sekali bukan sebuah ‘monarki’ DIY, tapi sebuah provinsi.
Yang
berbeda di DIY hanyalah penetapan kepala daerah. Namun, bukankah
pengaturan tentang kepala daerah pun sudah mendapat legitimasi oleh
negara? Jika pernyataan SBY bermaksud mempersoalkan tata cara penetapan
kepala daerah, maka pernyataan tersebut berdampak jauh dalam konteks
NKRI karena pernyataan tentang monarki seolah menempatkan DIY bukan
bagian dari NKRI.
Pernyataan SBY tentang keistimewaan DIY, seolah
mengabaikan pesan konstitusi tentang kekhususan dan keistimewaan.
Mengibaratkan keberadaan keistimewaan DIY sebagai monarki dalam NKRI
tentu saja mengganggu spirit NKRI dimana DIY adalah salah satu provinsi
dalam negara Indonesia. Ada sejarah yang telah kita lalui dimana memang
menghendaki Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Sebutan sistem monarki
yang dikemukakan SBY dengan begitu juga dianggap terlalu menyederhanakan
persoalan dalam memandang sistem kerajaan dan politik modern.
AA
GN Ari Dwipayana, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada menjelaskan yang terjadi di DIY bukanlah sistem
monarki, tetapi lebih pada tradisi budaya yang secara eksis berkembang
dan mengakar kuat. Harus diakui, eksistensi keraton sangat kuat.
Persoalannya, bagaimana menempatkan keraton dalam sistem pemerintahan
modern. Itu yang harus dijawab dalam Rancangan Undang-Undang
Keistimewaan (Yogyakarta).
Menurut dia, Yudhoyono terlalu terpaku
pada makna keistimewaan sebatas perekrutan kepala daerah. Akibatnya,
dengan mudah menyebut sistem pemerintahan DIY sebagai sistem monarki.
Masih banyak isu keistimewaan lain yang harus mendapat perhatian,
seperti isu pertanahan dan tata ruang wilayah.
Ari juga
mengkritisi pernyataan Yudhoyono yang menyebutkan sistem monarki
bertabrakan dengan demokrasi. Menurut dia, pengalaman sejumlah negara,
sistem monarki bisa berdampingan dengan politik modern. Misalnya, di
Inggris, Belanda, dan Malaysia. ”Tidak seharusnya monarki ditabrakkan
dengan demokrasi,” katanya.
Secara terpisah, dosen Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto
Handoyo, mengatakan, dengan menyebut sistem monarki, Yudhoyono tidak
memahami konsep keistimewaan DIY. ”SBY (Yudhoyono) tampaknya salah
menafsirkan keistimewaan DIY,” ujarnya.
Sejarah, menurut Handoyo,
harus dipakai sebagai referensi utama dalam menyusun undang- undang
yang mengatur tentang tata negara. Keistimewaan DIY, katanya, muncul
karena adanya hak privilege yang diberikan Pemerintah Indonesia yang
berkuasa saat itu kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam
VII.
Hak itu diberikan karena Keraton Ngayogyakarto dan
Pakualaman merupakan daerah merdeka yang memilih untuk menjadi bagian
dari Indonesia. ”Kontrak politik antara DIY dan Indonesia itu mestinya
tidak diingkari. Hak privilege semacam itu bahkan juga diakui oleh
Pemerintah Belanda dan Jepang yang pernah menduduki wilayah Indonesia,”
kata Handoyo menambahkan.
Anggota Komisi II DPR Akbar Faisal
menyebut SBY tak paham substansi kesitimewaan Yogyakarta. “Bagi saya
pribadi Presiden keliru. Karena (keistimewaan) itu ada dalam
undang-undang,” ujarnya. Dikatakannya, Sultan menyadari bahwa Provinsi
DIY bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan Presiden. Menurut
Sultan, Provinsi DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen
provinsi lain. “Yang saya agak bingung dari istilah monarki yang
dikatakan, Presiden seperti mendramatisir kesitimewaan Yogyakarta.
Padahal banyak daerah yang diperlakukan sejenis,” jelasnya.
“Keistimewaan
DIY lebih cenderung pada sejarah dan budaya yang melekat pada
Yogyakarta. Jadi, saya kira wajar jika Sultan dan rakyat Yogyakarta
tersinggung dengan pernyataan Presiden itu,” imbuh dia. Tak hanya itu,
lanjut Akbar, statement Presiden soal monarki ini juga dianggap cukup
merugikan. “Karena seakan-akan ini suara Jakarta. Padahal DPR tidak
sepakat dengan ini,” katanya.
APA KATA SRI SULTAN?
”Kalau
sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY,
jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan
kembali,” Demikianlah pernyataan Sri sultan Hamengkubuwono X dalam jumpa
pers di kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta. Pernyataan Sultan yang
juga gubernur DIY itu agak terasa keras dan ditujukan langsung kepada
SBY.
Sumber petaka tidak harmonisnya hubungan Yogya dengan
pemerintah pusat sebenarnya berpuncak dari RUU Keistimewaan Yogyakarta
yang tak pernah terselesaikan, dalam RUU tersebut pemerintah pusat
berkeinginan agar Gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat, sama
seperti apa yang diberlakukan terhadap daerah propinsi lainnya. Draft
RUU tersebut hingga hari ini tak kunjung diajukan oleh pemerintah ke
DPR, hingga membuat nasib Yogyakarta menjadi terkatung-katung tanpa
ketentuan yang jelas. Dan ini merupakan bentuk keteledoran pemerintah
pusat terhadap daerah istimewa yogyakarta.
Tiba-tiba muncul
pernyataan presiden yang seolah-olah Yogyakarta dengan segenap
keistimewaannya selama ini dianggap sebagai sebuah pemerintah daerah
yang dijalankan dengan sistem monarki dan bertabrakan dengan sistem
demokrasi yang dijalankan oleh pemerintah pusat.
Sultan sendiri
membantah bahwa tidak ada perbedaan antara pemerintahan DI Yogyakarta
dan propinsi lainnya, Gubernur diangkat bukan melalui sistem baku yang
berlaku dikraton, tapi menurut tatanan yang diatur oleh pemerintah
disaat itu. Namanya diusulkan oleh DPRD dan diangkat menjadi Gubernur
dengan SK dari presiden yang waktu itu dijabat oleh Habibie, dan
dilanjutkan pula oleh Megawati, sedikitpun tak ada campur tangan kraton
dan kerabatnya. Namun secara kebetulan saat ini Gubernurnya dijabat oleh
seorang Sultan.
KEHILANGAN PERSPEKTIF
Pengamat politik Asmari
Rahman menilai demokrasi itu penting untuk membangun bangsa ini, tapi
bukan berarti segala-galanya, ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam
menjalankannya dinegeri ini, salah satunya adalah kekhususan dan
keragaman daerah yang selalu kita sebut dengan istilah Bhineka Tungal
Ika dan ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam pasal 18 A UUD 1945.
Dengan dasar kebhinekaan, kekhususan dan keragaman inilah munculnya
Daerah Istimewa Aceh, Yogyakarta dan Otononomi khusus Papua.
Di
Aceh dan Otonomi khusus untuk Papua memang tidak terkait dengan apa yang
disebut dengan Monarkhi, tapi jika negara ini ingin dijalankan menurut
faham Demokrasi secara utuh maka hukum yang diberlakukan di Aceh adalah
hukum nasional, dan tidak ada lagi istilah Partai Lokal, demikian juga
halnya dengan istilah Otsus Papua, jika Papua mendapat perlakuan khusus
maka seluruh Propinsi juga harus diberikan Otononomi khusus, bila perlu
kita anut sistem federal sekalian.
Jika presiden memaknai
Demokrasi itu dengan pengangkatan kepala daerah melalui pilihan rakyat
bagaimana dengan jabatan walikota yang ada di DKI, mereka ini semuanya
diangkat bukan dipilih, padahal semua bupati dan walikota yang ada
dinegeri ini dipilih langsung oleh rakyat, mengapa walikota di DKI
Jakarta tidak ?
Khusus mengenai urusan DI Yogyakarta ini,
sebaiknya presiden selaku kepala pemerintahan memanggil Sultan sebagai
Gubernur, bicara face to face untuk membahas persoalan ini terutama soal
RUU keistimewaan Yogyakarta yang sudah lama terbengkalai, sehingga ada
solusi yang terbaik bagi penyelesaian darft RUU tersebut, dan tidak
menjadi topik pembahasan yang bertele-tele serta menjadi perdebatan
publik yang tak berkesudahan.
Dan satu hal yang perlu dicatat
adalah jika Gubernur DI Yogyakarta dipilih secara langsung pada saat ini
maka tak dapat diragukan lagi bahwa pilihan rakyat adalah Sri Sultan HB
X, bahkan mungkin jika diberikan kesempatan secara terbuka bertarung
dalam pemilihan presiden saya perkirakan Sri Sultan Hamengkubuwono akan
mengungguli calon lainnya, termasuk SBY sendiri. Intinya adalah bukan
soal monarki atau tidaknya DI Yogyakarta, tapi bagaimana kita memaknai
dan menghargai kebhinekaan dan keberagaman berbagai daerah yang ada di
Nusantara ini, dan sudah sejak lama Sri Sultan HB X menunggu RUU
keistimewaan Yogyakarta tapi tak kunjung selesai juga sehingga pernah
terlintas dibenak Sultan untuk menanyakannya secara langsung kepada
rakyat lewat referendum.
Demokrasi tetap penting untuk membangun
negeri ini, tapi jangan pernah demokrasi ala barat. Demokrasi kita
adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi ala Barat sudah terbukti tidak
sempurna sebagaimana yang dibayangkan. Buktinya Bupati dan Gubernur yang
dipilih langsung oleh rakyat belum tentu menjadi pemimpin yang baik
yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya, bahkan
tak sedikit diantaranya menjadi pesakitan dikursi terdakwa karena
melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bahan informasi dihimpun dari berbagai sumber: koran tempo, kompas, detik.com, vivanews, dan lainnya @@@
Bulu Perindu Sukma
Bulu Perindu Asli Kalimantan 082168589479 /2683F21E

Di dalam blog ini akan saya jelaskan tentang khasiat dari Bulu Perindu yang melegenda yang khasiat utamanya adalah sebagai media pengasihan atau pemikat lawan jenis,baik Pria ataupun Wanita. Bulu perindu dapat mengatasi Solusi asmara anda yang kandas,pacar di ambil orang,cinta bertepuk sebelah tangan, dan semua yang berhubungan dengan asmara ..
Ciri - ciri keaslian
Jika di tetesi / dibasahi air dan di letakkan di atas lantai atau sehelai kertas, maka secara menakjub kan Bulu Perindu tersebut akan menggeliat - geliat laksana seekor cacing. Sepasang Bulu Perindu jika di dekatkan / dipertemukan ujung - ujungnya, secara ajaib akan berangsur - angsur saling mendekat dan melilit.
Testing Video Keaslian Bulu Perindu Sukma
mahar tingkat satu 300.000 sudah ongkos kirim
khasiatnya antara lain.. pengasihan, pemikat lawan jenis, penarik simpati, disenangi atasan bawahan, pelaris usaha, pelet, cepat dapat jodoh,mengembalikan pasangan yang selingkuh, cocok untuk pria dan wanita.
mahar tingkat Dua 550.000 ribu sudah ongkos kirim
Khusus yang tingkat dua perbedaanya dengan tingkat satu adalah khusus bagi yang sudah berumah tangga atau sudah menikah, mengapa demikian karena power atau bulu perindu tingkat 2 mempunyai power 2x lebih besar dari tingkat 1 karena untuk orang yang sudah menikah rata-rata mempunyai aura yang sudah melemah karena faktor energi cakranya yang meredup akibat sudah seringnya berhubungan badan, jadi di butuhkan kekuatan ekstra untuk
menggunakan bulu perindu ini.
kekuatan bulu perindu tingkat 2 ini di fokuskan untuk mengembalikan pasangan yang selingkuh/pergi dengan laki-laki lain atau sudah tidak cinta lagi
khasiatnya antara lain..
pengasihan, pemikat lawan jenis, penarik simpati, disenangi atasan bawahan, pelaris usaha, pelet, cepat dapat jodoh,mengembalikan pasangan yang selingkuh, cocok untuk pria dan wanita tanpa ritual,puasa dan tanpa pantangan juga bisa di wariskan ke Anak CucuTanpa perlu panjang lebar berikut Testimoni para pemakai Bulu Perindu Sukma.
"Disclaimer : Hasil dan manfaat dari media bulu perindu ini akan berbeda-beda terhadap individualnya"

"Bagi
Para Pria dan wanita Yang Ingin Berhasil Dalam Mengatasi masalah
asmara,jodoh,perselingkuhan,agar di sayang atasan dan juga pelaris
usaha,Bisa Menggunakan Bulu Perindu Ini Sebagai Solusi"
|
Pembayaran dapat di lakukan ke salah satu rekening di bawah ini:
"Disclaimer : Hasil dan manfaat dari media bulu perindu ini akan berbeda-beda terhadap individualnya"
| |
![]() | Bank BCA Kantor Cabang: KCU Bukit Barisan No. Rekening : 3831172434 Nama Pemilik : Hendro Susilo |
![]() | Bank Mandiri Kantor Cabang: KCP Medan Simpang pos No. Rekening : 105-00-1057268-7 Nama Pemilik : Hendro Susilo |
setelah transfer harap konfirmasi sms ke no 082168589479 ( Hendro Susilo )
sertakan juga no hp dan alamat lengkap saudara untuk memudah kan pengirimam bulu perindu.
bulu perindu dan tata cara penggunaanya akan di kirim melalui JASA JNE,TIKI DAN POS
Code Resi Paket pengiriman anda dapat di lihat di " CEK STATUS PENGIRIMAN " di bawah ini



dengan cara memsukkan nomor barcode/resi pengiriman yang akan saya berikan kepada anda melalui email/sms
NB: untuk pemohon agar terlebih dahulu mengirimkan email atau sms ke alamat
dan jika ingin kontak langsung hub atau sms ke no 082168589479
TESTIMONI DARI BB

Bukti pengiriman JNE dan Pos Indonesia

MAHAR PELET MANTRA 550.000 |MAHAR PELET FOTO |850.000 | MAHAR PELET SEMAR MESEM | 550.000 | MAHAR PUTER GILING 1000.000 | TLP/SMS 082168589479 /2683F21E
: JNE TIKI POS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar