Ini sekelumit kisah seorang pahlawan seni tari Jawa. Ia ditembak mati dan dituduh sebagai mata-mata.
Memaknai perjalanan hidup adalah kewajiban siapa saja. Tidak peduli presiden hingga rakyat jelata. Setiap individu berhak untuk tahu sangkan paraning dumadinya, berhak untuk memaknai jalan hidupnya yang terbaik sesuai dengan kodrat dan iradat yang telah digariskan Tuhan. Saat seseorang telah menemukan siapa “aku sejati”nya, maka tidak ada keraguan untuk menghadapi segala mara bahaya termasuk maut sekalipun. Inilah kisahnya:
Vincennes, Perancis, di pagi yang berkabut tanggal 15 Oktober 1917. Sekelompok regu tembak siap menghamburkan peluru. Targetnya cuma satu dan perempuan pula: seorang penari tarian Jawa, Mata Hari namanya.
Dorrr…..berondongan senapan berbunyi. Asap keluar dari masing-masing senapan. Perlahan-lahan, dia berlutut, kepalanya tetap tegak tanpa ekspresi. Kemudian dia jatuh ke belakang, terlipat di pinggang, dengan kaki berada di bawah tubuhnya. Akhirnya dia terbaring diam tak bergerak, dengan wajah menghadap langit. Sebuah kematian yang sangat tenang..
Sebelum tubuhnya diberondong pelor tajam, ia bahkan sempat menebarkan uluk cinta. Dia meniupkan ciuman jauh kepada para eksekutor dan semua yang hadir di sana. Yang unik, dia tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun. Bahkan sempat mengacaukan konsentrasi para eksekutor dengan membuka pakaian. Mata Hari juga menolak ditutup matanya. Sebuah keberanian dan kepasrahan menghadapi maut yang tidak sembarang orang mampu menjalaninya.
Kenapa Mata Hari dihukum mati? Perempuan bernama asli Margaretha Geertuida Zelle, warga Belanda ini dituduh Perancis menjadi mata-mata Jerman . Situasi Perang Dunia memaksa dia untuk bekerja membanting tulang sebagai penari dan dituduh menjadi agen intelijen.
Margaretha Geertuida Zelle menggunakan nama Mata Hari sejak ikut suaminya, perwira kolonial Hindia Belanda bejat yang bertugas di Jawa dan Sumatera antara tahun 1897-1900. Selama di Jawa, dia belajar bahasa dan budaya Jawa, termasuk tari-tariannya. Karena jatuh cinta dengan budaya Indonesia, diapun mengganti namanya dengan Mata Hari dan tidak mau lagi dipanggil Margaretha. Sejak kembali ke Eropa dia menghidupi dirinya dengan menjadi penari. Dia menjadi terkenal tidak saja karena totalitasnya menggeluti seni: melestarikan tarian Jawa.
Pada saat Perang Dunia pertama, Belanda menjadi pihak yang netral. Sebagai warga negara Belanda, Mata Hari leluasa bepergian ke negara-negara Eropa untuk menari. Sayangnya, Mata Hari malah dituduh telah direkrut Jerman dan Inggris untuk menjadi mata-mata di Perancis.
Margaretha si “Mata Hari” lahir pada 7 Agustus 1876 di Leeuwarden Belanda. Sebagai anak kedua dari Adam Zelle dan istrinya Antje van der Meulen (keturunan Indonesia-Belanda) dan putri semata wayang dari empat anaknya Zelle yang semuanya laki-laki. Ayahnya seeorang pedagang. Semasa anak-anak dia biasa dilayani pembantu dan hidup berkecukupan.
Yang pasti, Margaretha menikmati masa kanak-kanaknya seperti anak kebanyakan. Namun ketika ia berusia 13 tahun, bisnis ayahnya bangkrut dan mulailah drama kesedihan demi kesedihan. Dua tahun kemudian, ibunya meninggal. Ia dititipkan tinggal dengan kerabat keluarganya, dan ia mulai mengikuti pendidikan guru namun gagal. Pada usia 18 tahun ia mencoba merubah nasibnya dengan mengirim surat ke sebuah iklan yang di pasang di sebuah surat kabar. Iklan itu menyebutkan ada seorang tentara yang sedang mencari jodoh. Tentara yang mencari jodoh itu berusia 38 tahun namanya Kapten Rudolph MacLeod. Seorang Belanda keturunan Skotlan.
Pada 11 Juli 1895 mereka menikah dan lahir dua anak, seorang laki-laki yang lahir pada 30 Januari 1897di Netherland diberi nama Norman. Sayangnya, Mac Leods ini seorang yang gemar main perempuan. Bahkan saat Margaretha tengah melahirkan, John malah tega berhubungan intim dengan perempuan lain di rumah mereka. Lima bulan setelah kelahiran bayinya, akhirnya mereka memutuskan pindah ke Jawa Timur. Margaretha menginjak usia 20 tahun sementara Mac Leods memasuki usia 41 tahun. Setelah pindah ke Jawa Timur, lahirlah putrinya Jeanne-Louise pada 2 Mei 1898.
Kehadiran dua anak tak membuat perilaku Mac Leods berubah. Dia semakin gemar main perempuan sehingga rumah tangga itu dilalui dengan banyak percekcokan dan pertikaian. MacLeods juga suka cemburu yang tanpa alasan pada isterinya yang memang cantik dan lembut. Bahkan tega menuduh Margaretha berselingkuh dengan lelaki lain. Padahal ia sendirilah yang playboy dan perilaku buruk itu tak berubah banyak meski telah menikah. Bahkan tak jarang memukul isterinya di forum yang dihadiri banyak orang.
Suatu ketika Mac Leods ditugaskan di kota Medan. Margaretha diminta untuk menyusul kemudian. Di Medan Margaretha menempati rumah Van Rheedes seorang akuntan untuk pemerintah kolonial. Inilah masa-masa Margaretha mulai menceburkan diri dengan belajar dunia seni tari. Perhatiannya yang sungguh-sungguh membawanya ikut suatu pergelaran sendratari Jawa, dan itu terus berlanjut hari demi hari. Ia juga tertarik mendalami sejarah, bahasa dan budaya Indonesia, belajar bahasa Melayu.
Berbagai kesempatan pun terbuka untuk unjuk kebolehan menari. Margaretha ikut pula menari sambil menghibur diri karena suami yang hobi selingkuh. Pada tahun 1897, Margaretha pulang ke Jawa Timur karena ada tawaran manggung dari pemerintah kolonial Belanda di Surabaya. Di sini dia mulai menggunakan nama ‘Mata Hari.’
Dari sisi spiritualitas, Margaretha tertarik mendalami kepercayaan Hindu. Sering di kamarnya, ia mempraktikkan tarian tantra diiringi oleh suara musik orkestra yang berasal dari imaginasinya. Seluruh jiwa raganya terpaut kepada tarian. “Saya seringkali merasa seperti seorang ‘Apsara’, atau seorang wanita Penari dari Kayangan, yang akan memperoleh kebahagiaannya hanya ketika ia menari bagi para Dewa….” ujarnya.
Kebiasaan buruk Mac Leods terus berlanjut. Ia juga tidak lagi menafkahi istri dan anaknya. Namun, ia balik menuduh Margaretha tak memiliki perhatian pada keluarga dan tidak keibuan. “Seharusnya kamu bisa bersih-bersih sendiri dan merapikan rumah, jangan hanya menari,” kata Mac leods yang tidak memahami bagaimana repotnya jadi ibu dengan dua.
Sebulan Margaretha tinggal di Medan datang kejadian tragis pada 25 Juni 1899. Norman anaknya yang berusia dua setengah tahun meninggal karena diracun tapi anak perempuannya berhasil diselamatkan. Hasil investigasi membuktikan penyebabnya adalah John menganiaya tentara pribumi. Kebetulan tentara ini memiliki hubungan cinta dengan wanita pengasuh anak-anaknya. Si pengasuh balas dendam kekasihnya dipukuli dengan meracun anaknya. Kejadian itu membuat Mac Leods gusar dan menyalahkan Margaretha yang dituduh kurang memperhatikan anak-anak.
Margaretha kembali ke Holland ditemani Mac Leods pada Maret 1902 dan sang putri mereka. Suatu hari ketika Margaretha pulang ke rumah, ia terguncang menyaksikan apartemennya kosong dan John telah minggat bersama puteri mereka yang berusia empat tahun. Margaretha berusaha mencari namun sia-sia. Inilah puncak pertengkaran dan penganiayaan batin yang dialami Margaretha.
Mac Leods malah memfitnah dengan memasang iklan di surat kabar Amsterdam: “Saya minta pembaca koran semua, siapa saja tidak membantu atau memberi apapun kepada Margaretha MacLeod-Zelle sebab isteri saya telah meninggalkan keluarga dan anaknya sendiri”.
Margaretha kini benar-benar sendiri terasing sepi. Tidak memiliki kemampuan untuk bekerja padahal usianya sudah menginjak 27 tahun ini. Suatu hari saat dia membaca koran Belanda ada tawaran kehidupan yang mudah di Paris bagi seniman seperti dirinya. Akhirnya ia memutuskan pergi ke Paris dan singkatnya dia bekerja sebagai pemain sirkus, menjadi model pelukis potret Antonio de La Gandara, dan lama kelamaan dia dikenal sebagai seniman.
Itu karena dia mulai rajin manggung sebagai penari bergaya Oriental. Ia yang menggunakan nama panggung Mata Hari dan mengaku sebagai puteri dari tanah Jawa, anak pendeta Hindu. Saking cintanya kepada Indonesia ia juga mengaku hidupnya telah diabdikan untuk seni tari. Tariannya terbukti bisa mengangkat statusnya bahkan dia populer di kalangan para negarawan dan pejabat militer di berbagai negara, termasuk Perancis dan Jerman.
Dunia berkecamuk Perang Dunia Pertama. Dunia seni budaya mengalami masa sulit. Sementara hidup terus berlanjut. Situasi sulit ini memaksa Mata Hari untuk tetap bisa bertahan hidup. Pada suatu ketika, ia didatangi para agen intelijen Jerman dan ditawari menjadi agennya. Awalnya Mata Hari menolak. Namun ia diancam untuk dibunuh sehingga tidak ada cara lain selain hanya diam dan sesekali memberi informasi.
Pada January 1917, atase militer Jerman di Madrid mengirimkan pesan radio ke Berlin menjelaskan tentang agen mata-mata Jerman yang dapat membantu, yang memiliki kode-panggilan H-21. Agen intelijen Perancis menyadap pesan itu mengenali bahwa H-21 adalah Mata Hari. Dia ditangkap pada 13 February 1917di Paris.
Para sejarahwan menganalisa, penangkapan wanita penggiat seni tari Jawa yang populer itu adalah kambing hitam atas kekalahan Perancis dalam peperangan. Meskipun tak ada bukti nyata bahwa Mata Hari bersalah menjadi agen intelijen ia tetap dianggap bersalah dan dieksekusi di hadapan regu tembak pada usia 41.
Kisah Mata Hari adalah sebuah ironi. Kelembutan dan kecantikan perempuan bisa menjadi kambing hitam kecemburuan kaum lelaki. Namun di balik itu semua, sejatinya hidup adalah sebuah pilihan. Dan saat seseorang telah memilih, maka di situ dia telah menetapkan takdirnya. Seseorang harus menanggung resiko baik dan buruk. Termasuk dengan cara apa dan bagaimana dia memilih kematian. Semuanya harus diterima dengan pasrah dan lapang dada sebagai bentuk dharma bakti pada kehidupan dan kepada Tuhan Yang Maha Suci.
Kepada bunda Mata Hari yang kini telah berada di sisi-Nya, kau adalah pelajaran yang berharga bagi kehidupan kami; yang kini masih menjadi aktor di panggung sandiwara….
@wongalus,2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar