SEDULUR SEMUA, GAGASAN BERIKUT
INI CUKUP MENARIK UNTUK DIDISKUSIKAN. YAITU MANA YANG PALING PENTING DAN
MENDESAK UNTUK KITA JADIKAN WADAH BERSAMA SEBAGAI PENANDA SAMBUNGNYA
TALI PERSAUDARAAN DI K.W.A?
1. MENDIRIKAN RUMAH PENAMPUNGAN GRATIS UNTUK ORANG GILA
2. MENDIRIKAN PANTI ASUHAN ONLINE
2. MENDIRIKAN PANTI ASUHAN ONLINE
TERIMA KASIH DAN SALAM PASEDULURAN.
@@@
KISAH PAHLAWAN UNTUK ORANG GILA
INI KISAH KEMANUSIAAN DARI SEORANG
PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. BISA MENJADI INSPIRASI BUAT SEDULUR SEMUA,
BAHWA KITA BISA BERBUAT BANYAK UNTUK MEMBANTU SEDULUR LAINNYA. BILA SATU
ORANG SAJA BISA, KENAPA KITA YANG PUNYA WADAH BESAR INI BELUM BERGERAK?
Puluhan
orang berkepala gundul berjalan mengitari halaman sebuah rumah
sederhana milik Sri Wulung Jlitheng. Tak hanya pria, terlihat tiga
perempuan yang juga berambut cepak ikut dalam barisan.
Tak sepatah katapun keluar dari mulut
mereka. Dan tanpa komando, mereka terus berjalan mengitari halaman yang
tak cukup lebar itu. Lama mereka berjalan, namun tak sedikitpun
kelelahan diperlihatkan. Mereka terus berjalan dan rata-rata dengan
pandangan yang agak kosong. Tertib, meski sekali lagi, tanpa ada
komando. Pandangan mereka tiba-tiba tertuju pada sosok laki-laki yang
tak lain adalah Sri Wulung Jlitheng, atau yang akrab dipanggil Cak
Wulung.
Seakan terhipnotis, apapun yang dikatakan
Wulung selalu dituruti. Sesekali Wulung bertanya mengenai beberapa hal
mengenai mereka satu per satu. Mereka pun menjawab semua pertanyaan yang
diajukan. Ya, mereka bukanlah orang waras. Sore itu adalah salah satu
kegiatan rutin yang harus dilakoni pasien Wulung, yang menderita sakit
jiwa. Mereka sedang berolahraga untuk melemaskan badan.
Pemandangan seperti ini bisa dilihat di
setiap sore di rumah Wulung. Memang sekilas, tak ada yang menyangka jika
puluhan orang yang berjajar itu adalah orang yang tak waras. Karena
biasanya, orang tak waras selalu dijaga dengan ketat. Dan tak jarang
harus dirantai atau bahkan dipasung.
Saat ini, Wulung merawat dan mengobati 35
pasiennya. Tanggung jawab itu ia emban dengan segala keterbatasan.
Terutama keterbatasan fasilitas. Pasien-pasiennya menempati kamar-kamar
kecil dengan kondisi tembok dan lantai yang ala kadarnya. Namun,
keterbatasan ini tak membuat Wulung patah semangat untuk memberikan
pertolongan kepada mereka yang mengalami gangguan jiwa.
Dan jangan salah, apa yang dilakoni
Wulung ini jauh dari niat komersil. Meski dengan kondisi ekonomi yang
tak kaya, namun Wulung tak memberlakukan tarif bagi siapa saja yang
menginginkan kesembuhan. Bahkan bisa dibilang, untuk menjalani aktivitas
ini, Wulung selalu merugi. ”Kalau diberi, saya juga menerima. Tapi jika
tidak, saya tak pernah meminta,” kata Wulung.
Dan sejauh ini memang, rata-rata
pasiennya berasal dari ekonomi kelas bawah. Lantaran itulah, Wulung tak
pernah berharap materi dari aktivitasnya itu. Jangankan untung, untuk
menutupi semua kebutuhan pasiennya saja, tak cukup jika harus
mengandalkan belas kasih dari keluarga pasien. ”Karena memang di sini,
kami tak mencari untung. Niat kami ingin membantu yang tidak mampu,”
papar pria yang khas dengan rambut kuncirnya ini.
Lantas dari mana ia mendapatkan uang
untuk menutupi segala kebutuhan pasiennya itu? Hingga usianya yang
menginjak 53 tahun ini, Wulung memang terkenal sebagai pemain Ludruk.
Bahkan kini ia memiliki sanggar ludruk yang ia beri nama ”Among Budaya”.
Dari sinilah kebutuhan pasien bisa ia
cukupi, meski kadang ia tertatih dengan tingginya biaya atas aksi
sosialnya itu. ”Dari tanggapan (pertunjukan) ludruk. Jika tak ada
pertunjukan ludruk, bisa juga dari karawitan. Di ludruk, saya juga
ngelawak,” aku bapak enam anak ini.
Bisa dibilang, segala kebutuhan sanggar
”orang gila” ini ia tutupi dari bisnis kebudayaan Jawa itu. Selain
memiliki grup ludruk, Wulung juga memiliki seperangkat alat gamelan
lengkap dengan sound sistem yang ia sewakan. ”Semua dari sini (ludruk).
Karena inilah satu-satunya mata pencaharian saya,” ungkap pria yang
terlahir dan tinggal Mojokerto, Jatim ini.
Kemandirian benar-benar ia tanamkan di
proyek sosialnya itu. Karena sejak mengasuh orang gila sejak tahun 2005
silam, ia sama sekali tak pernah berharap dari bantuan pemerintah. Satu
prinsip yang dipegang, ia tak ingin menjadikan pasiennya sebagai bemper
untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.
”Bukan salah pemerintah jika tak
memberikan bantuan. Karena selama ini saya memang tak pernah mengajukan
bantuan itu. Saya tak ingin menjadi pengemis,” katanya. Selain dari
ludruk, ia juga mengandalkan dua anaknya yang memiliki usaha peleburan
logam yang tak jauh dari rumahnya. Jika benar-benar kepepet, ia terpaksa
melibatkan anaknya untuk menyelesaikan kebutuhan pasiennya.
”Saya juga memberi tanggung jawab kepada
kedua anak saya itu untuk membimbing pasien yang sudah mulai sembuh.
Mereka (pasien) diajak bekerja agar bisa berbaur dengan masyarakat,”
tambahnya.
Sumber: Tritus Julan/Koran SI. http://news.okezone.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar