Artikel ini
diilhami oleh komentar Ki DR Angon ketika dia menanggapi @laskar cinta:
“pertanyaanmu sangat mendasar kawan…! Bila “Allah” hanya bisa dibabar
dengan pendekatan huruf-huruf Arab, lalu bgm dg wong jawa yg sudah punya
hanacaraka? Bolehkah “Allah” diberi nama oleh makhlukNya yg bukan Arab?
kalau “Allah” hanya bisa dijelaskan dg bhs Arab, wah berarti Allah
menjadi Tuhan yang primordial dan rasis dong…? monggo direnungkan…!”
“Tuhan”
biasanya dipakai sebagai sebutan penganut monoteisme. Istilah Tuhan
muncul dari perbedaan bahasa dan tradisi agama. Kedua-dua cabang ini
menghasilkan perkembangan arti istilah “Tuhan””. Bangsa Arab menyebut
Tuhan dengan Allah yang “memiliki “99 Asma. Bangsa Israel menyebut
Yehowa atau Yahweh (istilah Ibrani tetragrammaton YHVH).
Nama ini tidak pernah
dilafalkan karena dianggap sangat suci, maka cara pengucapan YHVH yang
benar tidaklah diketahui. Biasanya yang dilafalkan adalah Adonai yang
berarti Tuan. Sang Hyang Tritunggal maha suci yang artinya adalah Bapa,
Putra, dan Roh Kudus, terutama dipakai dalam Gereja Katolik dan Gereja
Ortodoks. Konsep ini dipakai sejak Konsili Nicea pada tahun 325 M.
Dalam kepercayaan
Hindu, khususnya konsep ketuhanan Adwaita Wedanta Tuhan merupakan pusat
segala kehidupan di alam semesta yang disebut dengan Brahman. Brahman
merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman
merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di
mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula
dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam
semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut,
posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja
sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai
perantara Tuhan kepada umatnya.
Sementara dalam Agama
Buddha, mereka tidak mempersonifikasikan Tuhan. Agama Buddha melihat
konsep ketuhanan sebagai ‘Yang tak bersyarat, mutlak, tak terceritakan’,
tidak bisa digambarkan dalam bentuk apapun. Tuhan dalam Agama Buddha
adalah merupakan tujuan hidup yang bisa dicapai ketika manusia masih
hidup di dunia ini. Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha adalah Nibbana.
Di dalam bahasa Melayu
atau bahasa Indonesia, dua konsep atau nama yang berhubungan dengan
ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan Dewa. Penganut monoteisme biasanya
menolak menggunakan kata Dewa di Indonesia, tetapi sebenarnya hal ini
tidaklah berdasar. Sebab di Prasasti Trengganu, prasasti tertua di dalam
bahasa Melayu yang ditulis menggunakan Huruf Arab (Huruf Jawi) menyebut
Sang Dewata Mulia Raya. Bagaimanapun, pada masa kini, pengertian
istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal, sementara Dewa
dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan sehingga
cenderung mengacu kepada politeisme.
Yang lebih ruwet lagi
adalah konsep ketuhanan yang digagas para filsuf. Kita seperti terlempar
ke rimba belantara dimana kita harus siap dengan senjata yaitu akal
budi dan siap tersesat. Latihan untuk tersesat ini sungguh pengalaman
yang sangat berharga. Sebagaimana diketahui, para filsuf ini mencari
Tuhan umumya murni dengan kekuatan akal budi dan kalau pun toh perlu
merujuk pada kitab suci, biasanya mereka lebih mengedepankan pada peran
logika yang lurus. Dalam usahanya untuk mencari Tuhan, yang perlu
dipahami adalah penemuan konsep tentang Tuhan. Konsep tentang Tuhan
jelas berbeda dengan eksistensi dan substansi Tuhan (an sich).
Tuhan sebagai Yang
Absolut artinya keberadaanya mutlak, bukannya relatif. Hal ini dapat
dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar.
Kalau semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu
itu relatif. Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi
realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih,
bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada pembanding selain
putih.
Dengan demikian tidak
bisa disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak
bisa disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu. Dengan kemutlakannya,
ia tidak akan ada yang menyamai atau diperbandingkan dengan yang lain
(distinct). Kalau tuhan dapat diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi
atau menjadi relatif. Karena tidak dapat diperbandingkan maka tuhan
bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya. Kalau ada yang lain,
berarti dia tidak lagi distinct dan tidak lagi mutlak.
Munculnya beragam
istilah ‘Tuhan” berawal dari adanya sebutan dalam agama yang menunjuk
pada Dzat yang Adikodrati. (kalau disini disebut sebagai Dzat: mohon
jangan diartikan dalam pengertian Fisika. Tuhan tidak perlu ditetapkan
konsep massa jenis Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak perlu pula
dideskripsikan apakah Tuhan itu bersifat zat padat, cair, dan gas
berdasarkan wujudnya dan penerapannya.
Kita tidak perlu
mengenali Tuhan di laboratorium untuk menguji massa jenis Tuhan,
bagaimana terjadinya perubahan wujud zat Tuhan, bagaimana susunan dan
gerak partikel pada berbagai wujud zat melalui penalaran. Membedakan
kohesi dan adhesi berdasarkan pengamatan. Mengkaitkan peristiwa
kapilaritas, meniskus cembung dan meniskus cekung dengan peristiwa alam
yang relevan dan seterusnya dan sebagainya.
Apakah kita perlu juga
mengetahui apakah massa jenis zat Tuhan adalah sesuatu yang menempati
ruang dan memiliki massa? Bila setiap zat di dunia ini mempunyai bentuk
dan berat, apakah Tuhan memilikinya. Kita biasa menggunakan istilah
“berat” dan “ringan” untuk menyatakan massa suatu benda. Massa suatu
benda adalah ukuran banyaknya zat yang terkandung di dalam benda itu.
Ruang yang ditempati oleh suatu benda biasa disebut volume. Setiap benda
mempunyai volume tertentu. Kerapatan suatu zat disebut massa jenis.
Massa jenis merupakan ciri khas suatu zat.
Ketika Nietzsche,
mengatakan “Tuhan Telah Mati” mohon itu jangan diartikan secara
harafiah. Sang begawan pemikir dari Jerman ini merujuk tiada “Kebenaran
Mutlak”; yang ada hanyalah “Kesalahan yang tak-terbantahkan”. Karenanya,
dia berkata, “Tuhan telah mati”. “Kesalahan yang tak-terbantahkan”
dengan “Kebenaran yang-tak terbantahkan” tidaklah memiliki perbedaan
yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini dimanfaatkan untuk
melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu eksistensi yang
tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak dan tak
terbantahkan itu sama saja.
Jadi, persoalan umat
manusia dalam proses pencairan Tuhan tiada lain proses penentuan
peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai ‘tak
terbantahkan’, atau mutlak, atau absolut. Muhammad Imaduddin Abdulrahim
Ph.D dalam buku Kuliah Tauhid mendefiniskan Tuhan sebagai segala sesuatu
yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela
didominirnya (Buku:Kuliah Tauhid).
Dengan kemutlakannya,
Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak
dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan
tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi
kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati. Saya
pada akhirnya percaya, manusia adalah substansi yang terbatas dan meski
terbatas namun ia memiliki koneksitas pada Yang Tidak Terbatas dan Yang
Tidak Terjangkau ini dengan satu sarana yaitu kesadaran.
Manusia barangkali
membutuhkan Tuhan sebagai ekspresi kelemahan dirinya berhadapan dengan
alam semesta, manusia yang lain dan juga berhadapan dengan sesuatu
dimana dia harus ‘pasrah’ terhadap keterbatasan-keterbatasan hidupnya.
Dan setiap ajaran kita tahu disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Kebenaran memang sesungguhnya tidak akan pernah bisa digambarkan. Satu
contoh, menceritakan rasa rambutan kepada orang lain yang belum pernah
makan rambutan adalah kemustahilan. Oleh karena itu, rasa rambutan itu
baru bisa dimengerti setelah dirasakan sendiri. Demikian pula untuyk
mencapai pengetian tentang Tuhan.
Kita membutuhkan
pengalaman sendiri atau dikenal dengan EHIPASSIKO. Pengalaman lebih kaya
dan padat daripada pemahaman yang lahir dari cerita turun temurun,
mitos maupun belajar di buku tentang Tuhan. Cara mengerti dan memahami
kemudian mendekat pada Tuhan tidak bisa dikerdilkan dengan hanya
melakukan pemahaman-pemahaman terhadap huruf-huruf, kalimat dan
pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku literatur saja. Seseorang yang
ingin menghayati Tuhan yang sebenarnya Maha Dekat itu, maka ia harus
menceburkan diri dengan melaksanakan perintah Tuhan untuk senantiasa
menjalani laku tafakkur, tadzakkur dan tadabbur.
Kemudian langsung
praktekkan: “Singkirkan duri dari jalan umum, bantu si yatim piatu dan
berkorban total jiwa raga untuk kebenaran tanpa sok tahu. Bukankah sok
tahu adalah jerat tersendiri? Saat kita mengatakan: SEMBAHLAH ALLAH SWT,
maka pada saat itu juga kita tidak boleh menyembah siapapun juga,
termasuk menyembah kyai, mursyid, guru dan maha guru, diri kita, otak
kita, pengetahuan kita dan keyakinan kita sendiri.
*) Berikut contoh
bagan amal perbuatan manusia. Kalau kita terpaku pada bagan, huruf,
kalimat, konsep, paradigma bagaimana kita harus beramal maka kita akan
terjebak pada kebingungan. Gunakan bagan, huruf, kalimat, konsep,
paradigma tentang “Tuhan” dan tugas-tugas manusia di muka bumi hanya
sebagai guide/pemandu saja dan langsung beramal saja…..
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar